Thursday, September 7, 2017

Teknik Makrame Apik, Hasilkan Karya Cantik





AWAM mungkin belum begitu mengenal kerajinan makrame. Apa sih makrame itu? Menurut Dewi Kartini, seorang seniman makrame di Jakarta, istilah makrame sebenarnya berasal dari tanah Arab. Istilah itu digunakan untuk menyebut alas berbentuk rumbai-rumbai yang diletakkan di punggung unta.

Jadi sebenarnya, makrame berasal dari bahasa Turki makrama yang berarti rumbai-rumbai. Makrame disebut juga dengan kerajinan menyimpul tali atau benang. Adapun beberapa teknik yang digunakan dalam membuat makrame antara lain teknik pilin, simpul, anyam dan rajut.


Banyak hiasan atau benda-benda yang bisa dihasilkan melalui teknik makrame. Misalnya dekorasi dinding rumah, kap lampu, gantungan pot, kalung, tas, kursi, pembatas ruangan dan lain sebagainya. Dengan permainan warna tali/benang serta aneka bentuk simpul, barang bernilai seni tinggi bisa dihasilkan. Semakin tinggi tingkat kesulitan pengerjaan, biasanya akan semakin tinggi harga karya seni tersebut.



"Saya mematok harga berdasakan kesulitan pengerjaan desain dan jumlah benang yang terpakai," ungkap Dewi yang sudah menekuni makrame secara serius sejak tahun 2014.

Mengerjakan makrame, perlu passion sehingga bisa menghasilkan karya yang bernilai seni. Karena itu pula, Dewi tidak dikejar oleh target dalam berkarya. Kepuasan diri dan pecinta karyanya menjadi landasan utama dalam bekerja.

"Kerajinan yang saya buat tidak melalui sebuah sketsa. Saya menciptakan karya mengalir begitu saja. Karena itu pula, saya tidak pernah bisa mengulang kembali desain karya yang sudah jadi. Karena motif dan simpul digunakan, tecipta spontan saat saya mengerjakannya," jelas  Dewi saat ditemui di kediamannya, kawasan Cileduk, Jakarta, akhir Agustus 2017 lalu.


Dewi mengaku, awal berkenalan dengan makrame pada 2007 saat ia menjadi penanggung jawab sebuah rubrik kerajinan di Majalah Idea. Dalam sebuah perjalanan ke Singapura, ia mencoba mencari buku-buku tentang makrame. Tidak hanya buku, ia juga mendapatkan CD tutorial makrame. Ketertarikannya semakin dalam ketika ia mencoba tutorial kerajinan tersebut dan berhasil.

"Ternyata saya punya bakat nih. Mulailah saya membuat kalung untuk dipakai sendiri. Ternyata teman-teman di kantor tertarik dengan kalung tersebut. Awalnya hanya saya bagi-bagi ke teman-teman, tetapi lama-kelamaan mulai saya jual. Dari sanalah kemudian saya mulai membuat barang-barang lainnya," jelas mantan jurnalis di Gramedia Grup ini..

Selain menerima pesanan produk makrame, Dewi juga menerima kursus private satu hari di rumahnya. Ia menyediakan peralatan kursus dan makan siang kepada siswanya. Kelas yang ia buka, hanya khusus untuk satu orang setiap level. Ada pengenalan dasar-dasar makrame dan ada tingkat advance.


"Karya saya dipasarkan secara online, baik melalui IG maupun toko online. Selain itu saya juga sering mengikuti bazar-bazar di sejumlah tempat di Jakarta. Karya saya bisa di lihat di instagram @dkagalupe," lanjutnya.

Saat ini, lanjut Dewi, peminat barang-barang handmade makrame cukup banyak namun pengrajinnya masih minim. Mereka datang dari kalangan tertentu. Karena harganya yang relatif tidak murah, maka konsumen makrame adalah kalangan menengah ke atas atau orang-orang yang mengetahui seni makrame.

"Kalung paling murah saya jual Rp150 ribu, satu buah kursi Rp1,5 juta. Sebagian besar produk yang saya buat made by order," tandas Dewi.*



No comments:

Post a Comment