By Wina D Utami
Sejatinya cinta hadir untuk membahagiakan bukan sebaliknya memberi rasa sakit. Cinta bahagia selalu hadir di awal musim bercinta dan tidak pernah ada yang menduga akhir ceritanya.
Namaku Jingga, perempuan mandiri, aktif namun sedikit konservatif. Menurut teman-teman, aku memiliki mata dan senyum yang indah.
Aku punya seorang sahabat, namanya Baja. Dia teman sepermainanku sejak kita masih sama-sama di bangku SMP. Meskipun kita kuliah di kota berbeda, komunikasi masih terjalin baik hingga kini.
Dulu Baja dikenal sebagai anak yang bandel, tidak berpikir tentang masa depan. Dia menyelesaikan kuliah setahun lebih lambat dariku. Bahkan setahun setelah menamatkan pendidikannya di Jurusan Komunikasi, Baja masih tidak berpikir serius tentang masa depannya. Ia masih suka kongkow-kongkow tidak jelas bersama teman-temannya. Kadang sampai jauh malam. Namun begitu aku tahu ia tidak melakukan hal-hal negatif.
Baja bukan laki-laki yang mudah terpengaruh oleh lingkungan buruk di sekitarnya. Ia memiliki sikap yang menurutku justru menjadi keunikannya. Lambat laun aku semakin melihat kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak.
Tanpa sepengetahuanku, ia menekuni hobinya menjadi sebuah profesi. Dan aku mulai jarang mendengar kabar dia nongkrong di kafe A dan ngobrol di kafe B hingga larut malam. Aktivitas hambur-hambur uang orangtua sudah tidak lagi dilakukan Baja.
Berselang setahun lebih sejak Baja menekuni hobinya itu, ia mulai dikenal sebagi fotografer andal. Karya-karyanya banyak
dikagumi dan dihargai. Beberapa hotel ternama bahkan memajang karya Baja di setiap sudut ruangnya. Sebagai teman, aku ikut bangga dan mendukung penuh karirnya.
Tanpa kami sadari dan entah bagaimana awalnya, hubungan kami semakin dekat. Baja bilang, ia
sudah lama menyukaiku, namun tidak berani berterus terang perihal perasaannya
itu. Aku mulai menyadari perhatian khusus Baja ketika aku terpuruk
ditinggal mantan tunanganku. Dia begitu baik, dan penuh kesabaran menemaniku melalui hari-hari berat dengan luka hati. Ia selalu bisa membuatku tersenyum sehingga lambat laun kumampu melupakan kisah buruk itu.
Baja suka bercanda membuatku tersipu karena ucapan-ucapannya seperti menyanjungku. Aku diperlakukan spesial dan dihujani dengan perhatian tulus. Ia memberiku bahagia dan keceriaan. Indah, begitu indah menjalani hari-hari
bersamanya.
Keindahaan itu sedikit terganggu ketika Baja harus berpindah kota. Ada tawaran pekerjaan yang cukup menarik dan
menantang di Jakarta. Meskipun takut kehilangan, aku orang pertama yang meyakinkan Baja untuk menerima tawaran pekerjaan itu. Aku berpikir, karirnya akan lebih berkembang di kota besar.
Sejak ia pergi, hari-hariku tidak tidak lagi sesempurna sebelumnya. Aku kerap dilanda rasa gelisah, rindu yang membuncah dan kesepian tanpa dirinya. Kasih sayang dan perhatian Baja pun mulai berkurang tidak lagi sedasyat dulu. Aku merasa dia semakin jauh. Pekerjaan telah merenggutnya dariku.
Jarak Jakarta-Bandung sebenarnya tidaklah terlalu jauh untuk sebuah rasa yang begitu besar. Namun,
jarak itu buatku dan Baja menjadi jarak yang bak ribuan mil dengan waktu tempuh berhari-hari dan rintangan di sana-sini hingga cukup sulit untuk dilalui. Aku
pikir, zaman purba pun tidak separah itu untuk melintasi jarak Jakarta-Bandung.
Namun buat Baja sekarang, itulah gambarannya. Butuh perjuangan berat yang sulit
untuk bisa dilalui oleh seorang Baja.
Pada bulan pertama, hubungan kami masih hangat. Rindu yang sering melanda justru membuat pertemuan kami semakin berkualitas. Meski jauh, Baja selalu ada untukku. Memasuki bulan kedua di Jakarta, mulai terasa adanya perubahan itu. Kalau biasanya akhir pekan ia selalu rutin
mengunjungiku, kini tidak lagi. Pekerjaan selalu dijadikan alasan kealpaaannya menemuiku.
”Bajaku telah berubah, bukan
lagi Bajaku yang dulu. Tidak seperti namanya, hatinya seolah tidak lagi sekuat
baja padaku. Dia bukan lagi Baja yang aku kenal yang penuh perhatian,
penyayang dan peduli padaku. Selalu saja ada alasan ia membatalkan janji untuk datang menemuiku. Nuraniku berkata, ada yang tidak beres dengan Bajaku
kini. Tapi aku tak tahu pasti apa itu. Semoga saja ini hanya rasa yang muncul karena rinduku yang sangat ingin bertemu dengannya,” batinku.
Aku tidak pernah mengatakan
kepadanya tentang kegundahanku akan sikapnya, karena tidak ingin dicap sebagai
kekasih yang tidak pengertian. Aku tidak dapat memaksa Baja datang bila ada pekerjaan
yang menyita waktunya. Aku tidak ingin merusak hubungan yang telah terbina hanya karena berebut perhatian dengan
pekerjaannya. Meskipun Baja pada awalnya adalah teman kecilku, namun tidak
mudah meluluhkan hati orang tuaku agar ia mau menerima Baja sebagai kekasihku.
Ibuku
menilai, Baja bukan tipe laki-laki ideal untukku. Baja dikenal sebagai
anak yang urakan dan tidak punya masa depan. Namun
dengan kesabaran dan upaya yang kami lakukan terus-menerus, aku dan Baja bisa
menyakinkan keraguan orang tuaku terhadap cinta yang ada diantara kami. Dan
setelah semua kesulitan itu kami lalui, aku tidak ingin menghancurkannya. Aku
ingin membinanya dengan baik hingga hari bahagia itu tiba untuk kami.
Tapi kenapa kegundahanku
terhadap Baja semakin hari semakin membesar? Aku mulai ragu akan
kelangsungan hubungan kami. Namun aku enggan untuk menanyakannya
kepada Baja dan berusaha untuk tetap tenang.
Baja adalah laki-laki kedua
yang hadir dalam kehidupanku. Aku pernah ditinggal tanpa
alasan oleh orang yang aku pikir akan menjadi pendampingku kelak. Kami sudah berencana akan menikah. Aku sudah memberikan
kepercayaanku yang utuh padanya.
Aku memberikan kartu ATM-ku
padanya ketika ia membutuhkan uang untuk suatu keperluan mendadak. Ia berjanji
akan menggembalikan dua hari kemudian. Tapi ternyata ia mengingkarinya. Ia
bahkan menguras habis isi tabunganku. Kalau selama ini aku merasa menjadi perempuan satu-satunya di hati laki-laki itu, ternyata aku salah. Semua terungkap begitu saja sebelum pernikahan kami benar-benar terlaksana.
Terluka dan tersakiti oleh
perbuatannya menjadikan aku perempuan penyendiri. Hanya
Baja-lah yang tanpa lelah dan sabar menemani bahkan mengobati lukaku. Meskipun prosesnya tidak sebentar, Baja juga mampu meluluhkan kebekuan hatiku.
***
Lusa aku ada urusan perkerjaan
ke Jakarta. Mungkin aku akan di ibukota sekitar dua hari.
Ketika atasan menugaskanku, dengan antusias kuyakinkan bahwa ia tidak salah memilihku melakukan pekerjaan itu. Aku sangat bersemangat dengan perjalanan dinas kali ini. "Aku bisa bertemu Baja," girangku dalam hati.
Sudah satu bulan lebih kami tidak bertemu.
Aku mulai berfikir untuk membuat surprise kecil. Tanpa sepengatahuannya, aku akan berkunjung ke rumahnya. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya melihatku tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya. Baja belum
pernah mendapatkan kejutan apa pun dariku. Sebaliknya, dia sangat sering
membuatku tersanjung dengan kejutan-kejutan kecilnya. “Lusa adalah saatnya Baja
mendapatkan itu dariku,” ungkapku dalam hati.
“Apa ya yang harus aku bawa dari Bandung untuk Baja?”
Baja sangat suka ngemil, terutama camilan
yang gurih-gurih. “Kalau begitu, hari ini aku akan cari camilan yang Baja suka sebagai buah tangan. Mudah-mudahan dia senang aku bawakan
makanan kesukaannya,” gumamku sambil bergegas pakaian dan meluncur ke toko
oleh-oleh.
Keesokan harinya, dengan penuh
semangat, aku berangkat ke Jakarta bersama seorang teman dengan mobil yang sudah disiapkan kantorku. Dan ketika urusan pekerjaan kami selesai, aku
pun minta diri untuk pergi sebentar menemui Baja. Aku belum
pernah mengunjungi Baja selama ia di Jakarta. Aku berpikir, sore ini akan
menjadi sore yang tak terlupakan baginya.
Dengan perasaan tak sabar aku
mengetuk pintu rumah yang memiliki halaman cukup asri dan nyaman. Rumahnya tidak luas tetapi indah. Semoga aku tidak salah mengetuk pintu. Alamat ini sepertinya sudah seaui dengan yang ada di catatanku
Tak berselang lama
keluar seorang perempuan yang aku taksir seusia denganku. Melihat
yang keluar seorang perempuan, aku sedikit ragu. "Benarkan ini alamat rumah Baja?
Jangan-jangan aku salah alamat lagi. Baja kan tinggal sendiri di Jakarta," bisikku dalam hati.
“Selamat siang! Apa benar ini
rumah Baja?” tanyaku pada perempuan itu.
“Iya, benar. Mas Baja sedang
keluar sebentar. Mbak siapa ya? Ada keperluan apa dengan mas Baja?” tanya
perempuan cantik itu.
“Saya Jingga dari Bandung,”
jawabku.
Tanpa menjawab pertanyaannya yang kedua aku langsung saja bertanya
padanya, “Maaf, kalau boleh saya tahu, mbak siapanya Baja?” Perasaanku sudah mulai tidak
karuan melihat ada perempuan di rumah Baja.
“Perkenalkan saya Gadis, calon istri mas Baja,” ucapnya sambil mengulurkan tangan padaku.
Sontak aku terkejut, suara
lembut itu seperti batu yang menghantam kuat tubuhku. Kakiku lemas seolah tidak mampu
menopang badanku. Dunia kurasakan runtuh dan menimpa kepalaku, berat, berat
sekali.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung balik kanan dan berlari pergi
meninggalkan rumah itu. Sebelumnya aku sempat menyerahkan oleh-oleh yang aku
bawa untuk Baja ke tangan perempuan itu.
“Oh tuhan, cobaan apalagi ini?
Inikah jawaban kegalauan hatiku selama ini? Rencanaku ingin memberi surprise
kepada Baja, justru aku yang mendapatkan surprise itu.”
Rasanya saat itu juga aku
ingin kembali ke Bandung, Namun tak mungkin aku lakukan karena perjalananku
saat ini adalah perjalanan dinas. Aku segera menyetop taxi yang lewat dan kembali
ke hotel tempatku menginap dengan perasaan perih. Aku ingin meluapkan gejolak hatiku saat ini di
kamar. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Sepanjang jalan menuju hotel, air
mataku tak henti-hentinya mengalir meskipun aku sudah berusaha keras
membendungnya.
Aku sempat melirik ke arah kaca taxi, aku melihat wajah supir yang
kebingungan melihat air mataku bercucuran dan sesengukkan menahan kesedihan.
“Oh Baja, mengapa? Mengapa kamu yang lakukan ini? Kamu main hati dengan perempuan lain disaat ikatan cinta
kita masih terjalin. Padahal aku begitu mencintai dan mempercayaimu. Belum
genap 4 bulan kamu di kota ini. Semudah itukah Baja? Cinta macam apa yang kau berikan untukku selama ini?” ratapku di hati tiada
henti.
“Aku akan menerima kehilangan
ini Baja, tapi bukan dengan cara yang begitu kejam seperti ini. Kamu jahat!” rintihku.
Handphoneku tiba-tiba
berdering. Aku lihat nama baja di layarnya. ”Maaf Baja, mulai detik ini,
aku tidak akan mengangkat teleponmu dan tidak ingin mendengar apa-apa lagi darimu
dan tentangmu. Cintak tulusku padamu dua tahun ini
engkau sia-siakan begitu saja.”
”Kehilangan kali ini begitu berat,
Baja..!”
Otak dan hatiku terus saja berkomunikasi, tak habis pikir dengan perbuatan curang sahabat kecilku itu. Lamat-lamat kudengar alunan suara Afgan
menyanyikan lagu sadis dari radio taksi yang kutumpangi. Lagu itu seolah menggambarkan kisah yang ku alami saat ini.
Terlalu sadis caramu..
Menyingkirkan diriku..
Dari percintaan ini..
Agar dia kembali.. Padamu..
Tanpa peduli sakitnya aku..
Linggawastu, Bandung
Sabtu, 13 Februari 2010