Monday, February 1, 2021

Time Tunnel


Setelah hampir seperempat abad atau 25 tahun, langkah membawaku kembali ke Desa Air Buluh, desa terpencil di Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi. Desa ini adalah lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) aku bersama 6 teman lain dari berbagai fakultas yang ada di Universitas Riau (Unri). 

Kami diterjunkan kampus selama 3 bulan untuk belajar dan mencari pengalaman berada di tengah-tengah masyarakat. Tinggal di desa bagi anak muda yang hidup dengan fasilitas memadai, memberikan pengalaman tersendiri untukku saat itu.

Dulu Air Buluh belum seperti sekarang. Jalan menuju ke sana masih berupa jalan tanah. Tidak ada transportasi umum ke desa kami, tidak ada listrik, sumur bahkan jamban. Semua aktivitas dan kebutuhan air diambil dari Sungai Air Buluh yang ada di belakang rumah tempat anak-anak cowok tinggal. Dan kami harus beradaptasi dengan kondisi seperti itu.




Kesulitan hanya terjadi pada minggu-minggu pertama, lepas itu semua bisa kami jalani dengan baik. Masak dengan kayu bakar sudah hal biasa. Malam hanya ditemani pelita juga sudah tidak mengapa.

Kami tinggal di rumah panggung atau masyarakat setempat menyebutnya rumah tinggi. Pak Wali (Kades) saat itu menyiapkan dua rumah tinggi untuk kami tempati. Dua rumah ini saling berhadapan. Satu rumah untuk tinggal mahasiswa perempuan, satunya lagi untuk mahasiswa laki-laki. Aktivitas seperti memasak dan rapat-rapat kelompok, kami lakukan di rumah cowok.

Sayangnya, rumah tinggi yang dulu ditempati Eka (Faperi), Marwan (FKIP), Syahrial (FKIP) dan Nurman (FKIP) sudah tidak ada lagi. Dibongkar dan dibangun menjadi rumah batu oleh keluarga pemiliknya. Sedangkan rumah tempatku, Ides (Fisipol) dan Ida (Faperi) tinggal masih tersisa. Aku melihat hanya satu itu rumah tinggi yang tersisa di Air Buluh.

Tak menyangka aku bisa kembali mengunjungi desa yang dulu kami pikir adalah ujung dunia. Karena letak desa ini paling ujung di Kecamatan Kuantan Mudik. Ujung jalan ini adalah hutan rimba. Aku kembali ke Air Buluh karena undangan Yayasan Hutanriau yang berkegiatan di sana. Mereka menjadi pendamping Kelompok Tani Hutan Bukik Ijau menanam jernang di hutan lindung. Karena keberhasilan KTH ini, mereka mendirikan Sekolah Tani Hutan yang pembukaannya diresmikan oleh Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Maamun Murod, 26 Januari 2021.

Aku adalah salah seorang pendiri Yayasan Hutanriau bersama empat teman lainnya. Namun sejak menjadi Dewan Pengawas Yayasan Hutanriau, aku tidak lagi terlibat aktif di kegiatan teman-teman pengurus. 

Aku sempat melakukan adopsi sebatang pohon di Desa Air Buluh, pohon kaki nyamuk. Menurut masyarakat dan pihak DLHK, jenis pohon ini sudah langka saat ini. Dengan mengadopsi, berarti menjaga kelestarianya.


Tidak banyak lagi orang-orang yang masih kukenal dan mengenalku di desa ini. Hanya ada satu, Bapak Ali Yasmi yang masih mengingat wajah dan namaku. Saat itu, Pak Ali tinggal di sebelah rumah anak-anak cowok.

Pak Ali adalah Kepala Sekolah Tani Hutan Sungai Putat yang saat itu diresmikan Kadis DLHK Riau. Ia sempat aku wawancarai. Menurutnya, saat itu dia seperti pernah melihatku. Ia baru menyadari setelah aku katakan bahwa aku pernah ke desa ini tahun 1996 sebagai mahasiswa KKN.

Sungguh pengalaman luar biasa bisa kembali melihat jejak kenangan masa lalu di desa ini. Waktu puluhan tahun berasa baru kemarin. Seperti sedang melewati time tunnel atau mesin waktu saja.*

 

Thursday, September 7, 2017

Teknik Makrame Apik, Hasilkan Karya Cantik





AWAM mungkin belum begitu mengenal kerajinan makrame. Apa sih makrame itu? Menurut Dewi Kartini, seorang seniman makrame di Jakarta, istilah makrame sebenarnya berasal dari tanah Arab. Istilah itu digunakan untuk menyebut alas berbentuk rumbai-rumbai yang diletakkan di punggung unta.