Wednesday, February 15, 2017

Main Hati


By Wina D Utami

Sejatinya cinta hadir untuk membahagiakan bukan sebaliknya memberi rasa sakit. Cinta bahagia selalu hadir di awal musim bercinta dan tidak pernah ada yang menduga akhir ceritanya. 

Namaku Jingga, perempuan mandiri, aktif namun sedikit konservatif. Menurut teman-teman, aku memiliki mata dan senyum yang indah. 

Aku punya seorang sahabat, namanya Baja. Dia teman sepermainanku sejak kita masih sama-sama di bangku SMP. Meskipun kita kuliah di kota berbeda, komunikasi masih terjalin baik hingga kini.

Dulu Baja dikenal sebagai anak yang bandel, tidak berpikir tentang masa depan. Dia menyelesaikan kuliah setahun lebih lambat dariku. Bahkan setahun setelah menamatkan pendidikannya di Jurusan Komunikasi, Baja masih tidak berpikir serius tentang masa depannya. Ia masih suka kongkow-kongkow tidak jelas bersama teman-temannya. Kadang sampai jauh malam. Namun begitu aku tahu ia tidak melakukan hal-hal negatif.

Baja bukan laki-laki yang mudah terpengaruh oleh lingkungan buruk di sekitarnya. Ia memiliki sikap yang menurutku justru menjadi keunikannya. Lambat laun aku semakin melihat kedewasaannya dalam berpikir dan bertindak.

Tanpa sepengetahuanku, ia menekuni hobinya menjadi sebuah profesi. Dan aku mulai jarang mendengar kabar dia nongkrong di kafe A dan ngobrol di kafe B hingga larut malam. Aktivitas hambur-hambur uang orangtua sudah tidak lagi dilakukan Baja.

Berselang setahun lebih sejak Baja menekuni hobinya itu, ia mulai dikenal sebagi fotografer andal. Karya-karyanya  banyak dikagumi dan dihargai. Beberapa hotel ternama bahkan memajang karya Baja di setiap sudut ruangnya. Sebagai teman, aku ikut bangga dan mendukung penuh karirnya.

Tanpa kami sadari dan entah bagaimana awalnya, hubungan kami semakin dekat. Baja bilang, ia sudah lama menyukaiku, namun tidak berani berterus terang perihal perasaannya itu. Aku mulai menyadari perhatian khusus Baja ketika aku terpuruk ditinggal mantan tunanganku. Dia begitu baik, dan penuh kesabaran menemaniku melalui hari-hari berat dengan luka hati. Ia selalu bisa membuatku tersenyum sehingga lambat laun kumampu melupakan kisah buruk itu.

Baja suka bercanda membuatku tersipu karena ucapan-ucapannya seperti menyanjungku. Aku diperlakukan spesial dan dihujani dengan perhatian tulus. Ia memberiku bahagia dan keceriaan. Indah, begitu indah menjalani hari-hari bersamanya. 

Keindahaan itu sedikit terganggu ketika Baja harus berpindah kota. Ada tawaran pekerjaan yang cukup menarik dan menantang di Jakarta. Meskipun takut kehilangan, aku orang pertama yang meyakinkan Baja untuk menerima tawaran pekerjaan itu. Aku berpikir, karirnya akan lebih berkembang di kota besar. 

Sejak ia pergi, hari-hariku tidak tidak lagi sesempurna sebelumnya. Aku kerap dilanda rasa gelisah, rindu yang membuncah dan kesepian tanpa dirinya. Kasih sayang dan perhatian Baja pun mulai berkurang tidak lagi sedasyat dulu. Aku merasa dia semakin jauh. Pekerjaan telah merenggutnya dariku. 

Jarak Jakarta-Bandung sebenarnya tidaklah terlalu jauh untuk sebuah rasa yang begitu besar. Namun, jarak itu buatku dan Baja menjadi jarak yang bak ribuan mil dengan waktu tempuh berhari-hari dan rintangan di sana-sini hingga cukup sulit untuk dilalui. Aku pikir, zaman purba pun tidak separah itu untuk melintasi jarak Jakarta-Bandung. Namun buat Baja sekarang, itulah gambarannya. Butuh perjuangan berat yang sulit untuk bisa dilalui oleh seorang Baja.

Pada bulan pertama, hubungan kami masih hangat. Rindu yang sering melanda justru membuat pertemuan kami semakin berkualitas. Meski jauh, Baja selalu ada untukku. Memasuki bulan kedua di Jakarta, mulai terasa adanya perubahan itu. Kalau biasanya akhir pekan ia selalu rutin mengunjungiku, kini tidak lagi. Pekerjaan selalu dijadikan alasan kealpaaannya menemuiku.

”Bajaku telah berubah, bukan lagi Bajaku yang dulu. Tidak seperti namanya, hatinya seolah tidak lagi sekuat baja padaku. Dia bukan lagi Baja yang aku kenal yang penuh perhatian, penyayang dan peduli padaku. Selalu saja ada alasan ia membatalkan janji untuk datang menemuiku. Nuraniku berkata, ada yang tidak beres dengan Bajaku kini. Tapi aku tak tahu pasti apa itu. Semoga saja ini hanya rasa yang muncul karena rinduku yang sangat ingin bertemu dengannya,” batinku.

Aku tidak pernah mengatakan kepadanya tentang kegundahanku akan sikapnya, karena tidak ingin dicap sebagai kekasih yang tidak pengertian. Aku tidak dapat memaksa Baja datang bila ada pekerjaan yang menyita waktunya. Aku tidak ingin merusak hubungan yang telah terbina hanya karena berebut perhatian dengan pekerjaannya. Meskipun Baja pada awalnya adalah teman kecilku, namun tidak mudah meluluhkan hati orang tuaku agar ia mau menerima Baja sebagai kekasihku. 

Ibuku menilai, Baja bukan tipe laki-laki ideal untukku. Baja dikenal sebagai anak yang urakan dan tidak punya masa depan. Namun dengan kesabaran dan upaya yang kami lakukan terus-menerus, aku dan Baja bisa menyakinkan keraguan orang tuaku terhadap cinta yang ada diantara kami. Dan setelah semua kesulitan itu kami lalui, aku tidak ingin menghancurkannya. Aku ingin membinanya dengan baik hingga hari bahagia itu tiba untuk kami.

Tapi kenapa kegundahanku terhadap Baja semakin hari semakin membesar? Aku mulai ragu akan kelangsungan hubungan kami. Namun aku enggan untuk menanyakannya kepada Baja dan berusaha untuk tetap tenang.

Baja adalah laki-laki kedua yang hadir dalam kehidupanku. Aku pernah ditinggal tanpa alasan oleh orang yang aku pikir akan menjadi pendampingku kelak. Kami sudah berencana akan menikah. Aku sudah memberikan kepercayaanku yang utuh padanya. 

Aku memberikan kartu ATM-ku padanya ketika ia membutuhkan uang untuk suatu keperluan mendadak. Ia berjanji akan menggembalikan dua hari kemudian. Tapi ternyata ia mengingkarinya. Ia bahkan menguras habis isi tabunganku. Kalau selama ini aku merasa menjadi perempuan satu-satunya di hati laki-laki itu, ternyata aku salah. Semua terungkap begitu saja sebelum pernikahan kami benar-benar terlaksana.

Terluka dan tersakiti oleh perbuatannya menjadikan aku perempuan penyendiri. Hanya Baja-lah  yang tanpa lelah dan sabar menemani bahkan mengobati lukaku. Meskipun prosesnya tidak sebentar, Baja juga mampu meluluhkan kebekuan hatiku.

***

Lusa aku ada urusan perkerjaan ke Jakarta. Mungkin aku akan di ibukota sekitar dua hari. 

Ketika atasan menugaskanku, dengan antusias kuyakinkan bahwa ia tidak salah memilihku melakukan pekerjaan itu. Aku sangat bersemangat dengan perjalanan dinas kali ini. "Aku bisa bertemu Baja," girangku dalam hati. 

Sudah satu bulan lebih kami tidak bertemu. Aku mulai berfikir untuk membuat surprise kecil. Tanpa sepengatahuannya, aku akan berkunjung ke rumahnya. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya melihatku tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya. Baja belum pernah mendapatkan kejutan apa pun dariku. Sebaliknya, dia sangat sering membuatku tersanjung dengan kejutan-kejutan kecilnya. “Lusa adalah saatnya Baja mendapatkan itu dariku,” ungkapku dalam hati.

 “Apa ya yang harus aku bawa dari Bandung untuk Baja?”
Baja sangat suka ngemil, terutama camilan yang gurih-gurih. “Kalau begitu, hari ini aku akan cari camilan yang Baja suka sebagai buah tangan. Mudah-mudahan dia senang aku bawakan makanan kesukaannya,” gumamku sambil bergegas pakaian dan meluncur ke toko oleh-oleh.

Keesokan harinya, dengan penuh semangat, aku berangkat ke Jakarta bersama seorang teman dengan mobil yang sudah disiapkan kantorku. Dan ketika urusan pekerjaan kami selesai, aku pun minta diri untuk pergi sebentar menemui Baja. Aku belum pernah mengunjungi Baja selama ia di Jakarta. Aku berpikir, sore ini akan menjadi sore yang tak terlupakan baginya.

Dengan perasaan tak sabar aku mengetuk pintu rumah yang memiliki halaman cukup asri dan nyaman. Rumahnya tidak luas tetapi indah. Semoga aku tidak salah mengetuk pintu. Alamat ini sepertinya sudah seaui dengan yang ada di catatanku 

Tak berselang lama keluar seorang perempuan yang aku taksir seusia denganku. Melihat yang keluar seorang perempuan, aku sedikit ragu. "Benarkan ini alamat rumah Baja? Jangan-jangan aku salah alamat lagi. Baja kan tinggal sendiri di Jakarta," bisikku dalam hati.

“Selamat siang! Apa benar ini rumah Baja?” tanyaku pada perempuan itu.
“Iya, benar. Mas Baja sedang keluar sebentar. Mbak siapa ya? Ada keperluan apa dengan mas Baja?” tanya perempuan cantik itu.

“Saya Jingga dari Bandung,” jawabku. 
Tanpa menjawab pertanyaannya yang kedua aku langsung saja bertanya padanya, “Maaf, kalau boleh saya tahu, mbak siapanya Baja?” Perasaanku sudah mulai tidak karuan melihat ada perempuan di rumah Baja.

“Perkenalkan saya Gadis, calon istri mas Baja,” ucapnya sambil mengulurkan tangan padaku.

Sontak aku terkejut, suara lembut itu seperti batu yang menghantam kuat tubuhku. Kakiku lemas seolah tidak mampu menopang badanku. Dunia kurasakan runtuh dan menimpa kepalaku, berat, berat sekali.

 Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung balik kanan dan berlari pergi meninggalkan rumah itu. Sebelumnya aku sempat menyerahkan oleh-oleh yang aku bawa untuk Baja ke tangan perempuan itu.

“Oh tuhan, cobaan apalagi ini? Inikah jawaban kegalauan hatiku selama ini? Rencanaku ingin memberi surprise kepada Baja, justru aku yang mendapatkan surprise itu.”

Rasanya saat itu juga aku ingin kembali ke Bandung, Namun tak mungkin aku lakukan karena perjalananku saat ini adalah perjalanan dinas. Aku segera menyetop taxi yang lewat dan kembali ke hotel tempatku menginap dengan perasaan perih. Aku ingin meluapkan gejolak hatiku saat ini di kamar. Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Sepanjang jalan menuju hotel, air mataku tak henti-hentinya mengalir meskipun aku sudah berusaha keras membendungnya. 

Aku sempat melirik ke arah kaca taxi, aku melihat wajah supir yang kebingungan melihat air mataku bercucuran dan sesengukkan menahan kesedihan.

“Oh Baja, mengapa? Mengapa kamu yang lakukan ini? Kamu main hati dengan perempuan lain disaat ikatan cinta kita masih terjalin. Padahal aku begitu mencintai dan mempercayaimu. Belum genap 4 bulan kamu di kota ini. Semudah itukah Baja?  Cinta macam apa yang kau berikan untukku selama ini?” ratapku di hati tiada henti.

“Aku akan menerima kehilangan ini Baja, tapi bukan dengan cara yang begitu kejam seperti ini. Kamu jahat!” rintihku.

Handphoneku tiba-tiba berdering. Aku lihat nama baja di layarnya. ”Maaf Baja, mulai detik ini, aku tidak akan mengangkat teleponmu dan tidak ingin mendengar apa-apa lagi darimu dan tentangmu. Cintak tulusku padamu dua tahun ini engkau sia-siakan begitu saja.”

”Kehilangan kali ini begitu berat, Baja..!”

Otak dan hatiku terus saja berkomunikasi, tak habis pikir dengan perbuatan curang sahabat kecilku itu. Lamat-lamat kudengar alunan suara Afgan menyanyikan lagu sadis dari radio taksi yang kutumpangi. Lagu itu seolah menggambarkan kisah yang ku alami saat ini.
Terlalu sadis caramu..
Menyingkirkan diriku..
Dari percintaan ini..
Agar dia kembali.. Padamu..
Tanpa peduli sakitnya aku..

Linggawastu, Bandung
Sabtu, 13 Februari 2010


Sunday, February 5, 2017

Suka dengan Dodoy Petshop



Awal Januari lalu, tepatnya tanggal 2 Januari, sahabatku membuka usaha baru, sebuah petshop. Ia memberi nama Dodoy Petshop. Dodoy adalah nama kucing hitam jantan miliknya.

Aku tidak terkejut ia membuka petshop, karena aku tahu betul sudah lama ia menginginkan memiliki sebuah usaha sendiri. Naluri berbisnis agaknya memang sudah ia miliki. Ia sudah begitu lama bekerja di sebuah perusahaan investasi dan dengan latar belakang pendidikan bidang ekonomi, tidak diragukan lagi ia memiliki kemampuan bisnis. Setelah mempertimbangkan ini dan itu, akhirnya pilihannya jatuh pada petshop, toko yang menjual segala bentuk keperluan hewan peliharaan. Letaknya pun tak begitu jauh dari tempat tinggalnya.

Wednesday, February 1, 2017

Sepenggal Kisah Tentang Mama


Beberapa hari lagi mamaku berulang tahun, tepatnya 9 Februari. Ini tahun kedua mama berulang tahun. Sebelumnya, tidak pernah ada ucapan selamat ulang tahun, perayaan maupun doa untuk mama di tanggal itu. Karena mama meragukan dan merasa tanggal lahirnya selama ini belum pasti benar, meskipun di KTP dan surat-surat resmi tanggal kelahiran mama tercantum dengan jelas. Mama bilang, orangtua mama dulu buta huruf dan tinggal di kampung terpencil di Simpang Tiga, Pasaman, Sumatera Barat. Sehingga tanggal lahir yang pasti tidak tercatat dengan baik.