Monday, January 30, 2017

Taman Nasional Tesso Nilo dan Permasalahannya



Siapa yang menyangka bila di areal yang ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional, di dalamnya banyak terdapat pekebunan sawit, karet dan perkampungan warga. Memang saat wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi, ada beberapa wilayah perkampungan yang masuk ke dalamnya. Namun sayangnya jumlahnya terus bertambah dan luas kebun sawitnya juga telah mencapai ribuan hektar. Kebun sawit itu dikuasai dan dikelola oleh individu dan kelompok dengan modal besar.


Itulah gambaran yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau sekarang. Tesso Nilo yang diresmikan menjadi taman nasional pada 19 Juli 2004, berada di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Pelalawan dan Inderagiri Hulu ini, sebagian adalah lahan eks HPH sejumlah perusahaan besar di Riau.

Untuk menuju ke TNTN bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat sekitar 5 jam perjalanan dari Pekanbaru. Dengan kondisi jalan yang mulus dari Pekanbaru hingga Sorek serta jalan berkerikil dan tanah di beberapa tempat, TNTN merupakan wilayah yang potensial dikembangkan menjadi bagian dari paket wisata di Riau. Flying Squad, pasukan gajah penghalau gajah liar bisa menjadi daya tarik sendiri disamping melakukan panen madu sialang dan tracking ke hutan serta sungai. Namun kawasan yang dilindungi tersebut, kini terancam oleh aksi para perambah yang tentu akan mengganggu kelangsungan hutan konservasi.


Dari laporan Wild Cutters WWF 2013, ada sebanyak 524 orang yang terindikasi mendominasi 72 persen atau 26.298 Ha dari total 36.353 Ha area perambahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit. Sementara sisanya dikelola oleh 20 kelompok.


"Rata-rata luas kebun yang dimiliki oleh individu adalah 50 Ha. Data mengindikasikan adanya modal besar yang dimiliki perambah yang umumnya berasal dari luar Riau," jelas Afdal Mahyudin, staf  komunikasi WWF Riau saat diskusi di kantor Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Pangkalan Kerinci, beberapa waktu lalu.

Para perambah membangun rumah hunian dari kayu di areal kebun atau tidak jauh dari kebun mereka di dalam TNTN. Karena jumlah kepala keluarga terus bertambah, akhirnya terbentuk koloni  perkampungan. Bahkan mereka mendirikan rumah peribadatan dan warung-warung di sana. Daerah terluas perambahan, diantaranya ada di Kuala Onangan Toro Jaya dengan luas rambahan 7.769,27 Ha, Bagan Limau sekitar 3.852,21 Ha dan Toro Makmur, 2.440 Ha.

Aktivitas masyarakat perambah sehari-hari, sama layaknya para petani sawit lainnya, membersihkan kebun atau memetik hasil kebun mereka yang sudah jadi. Dan karena kebun serta tempat tinggal mereka berada di kawasan jelajah gajah, tak jarang wilayah mereka disantroni kawanan gajah. Akibatnya, konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan. Tidak heran bila sering ditemukan gajah mati akibat diracun di wilayah TNTN tersebut.



 Saat ini, sudah banyak lahan sawit perambah yang memasuki masa panen. Dan dalam penelitiannya, WWF menemukan ada dua  grup  perusahaan yang diindikasikan terlibat perdagangan tandan buah segar (TBS) yang ditanam illegal di kompleks TNTN, yaitu Asian Agri dan Wilmar. Dari lapangan juga ditemukan bahwa Asian Agri dan Wilmar terlibat dalam  pengembangan kebun sawit illegal di dalam kompleks hutan Tesso Nilo. 


"Berdasarkan hasil investigasi sampai dengan Bulan April 2012, ditemukan 50 mill (pabrik kelapa sawit) beroperasi di sekitar kompleks hutan Tesso Nilo dengan perkiraan  kebutuhan  TBS sebesar 14,5  juta ton per tahun," ungkap Afdal.

Sebanyak 11 mill  yang  tidak memiliki kebun sendiri memerlukan pasokan TBS dari kebun swadaya sebesar 3 juta ton per tahunnya. Sedangkan 4 mill dimiliki oleh Wilmar, Musim Mas, Golden Agri Resources dan BUMN perkebunan, sementara 7 mill lainnya belum teridentifikasi kepemilikannya.



Analisa Citra Satelit Landsat 2002-April 2011 menunjukan pertambahan luas kawasan yang dirambah di dalam  kompleks hutan Tesso Nilo. Kawasan hutan TNTN  yang luasnya 167.618 Ha, setiap tahun terus terjadi peningkatan areal yang dirambah. Peningkatan  tertinggi terjadi pada tahun 2006 yang luasnya mencapai 14.165 Ha. Pada Tahun 2008 meningkat menjadi 14.704 Ha dan paling luas pada Tahun 2009, 16.305 Ha.


Berdasarkan hasil survey WWF, dari 52.266,5 Ha luas areal yang  telah  dirambah, 70 persen  (36.353  Ha) diantaranya telah dikonversi menjadi  kebun sawit illegal dan sisanya adalah lahan terlantar atau ditanami tanaman biasa. Dan dari areal yang telah dikonversi, 15.819 Ha merupakan kebun yang sudah menghasilkan tandan buah segar.  "Dengan asumsi produktivitaas 1,3-2 ton/Ha/bulan, produksi TBS saat ini di kawasan hutan Tesso Nilo cukup untuk mensuplai satu CPO mill untuk memproduksi 67,000 ton per tahunnya. Sementara luas kebun yang belum menghasilkan sebesar 20.784 Ha," kata Afdal.

Perambahan yang berdasarkan laporan Wild Cutters adalah kegiatan menduduki, menguasai dan mengusahakan kawasan hutan di kompleks hutan Tesso Nilo sesuai dengan TGHK tahun 1986 dan RTRWP Riau tahun 1994 ini, dilakukan masyarakat dengan berbagai modus. Perambah non lokal biasanya melalui jual beli lahan yang dilakukan oknum tokoh masyarakat kepada masyarakat luar. Dengan surat kuasa oknum tokoh masyarakat menunjuk kaki tangannya di lapangan untuk memasarkan lahan  kepada masyarakat luar. Sebagian besar areal yang diperjualbelikan dalam luasan yang besar hingga 100.000 Ha/satu kepemilikan.

"Bila perambah lokal yang merupakan masyarakat sekitar Tesso Nilo membuka hutan (taman nasional atau pun usulan perluasannya) untuk dijadikan kebun, biasanya dalam luasan kecil," terang Afdal.



Ada sejumlah faktor penyebab terjadinya perambahan di TNTN. Diantaranya, tidak aktifnya kegiatan lapangan tiga perusahaan pemegang konsesi di Tesso Nilo, yaitu Hutani Sola Lestari, Nanjak Makmur, dan Siak Raya Timber serta adanya akses jalan atau pembangunan infrastruktur di sekitar kawasan Tesso Nilo seperti pembangunan koridor HTI. "Hal ini, baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi minat masyarakat untuk memiliki lahan di sekitar jalan," jelasnya.



Hal senada disampaikan Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN) Kuppin Simbolon. Menurutnya, perambah mempunyai modus dalam memperjualbelikan lahan di TNTN dengan mengklaim kawasan Tesso Nilo sebagai milik kepala-kepala Batin atau hak ulayat. Hutan adat menurut konstitusi akan sah keluar dari hutan negara ketika para stake holder termasuk pemerintahan kabupaten dan propinsi mengakui secara legal bahwa itu hutan adat. Tambahan lagi, hutan adat itu tidak dapat diperjualbelikan. "Namun di TNTN sangat berbeda, hutan adat diperjualbelikan, sehingga menjadi kaya lah oknum-oknum yang mengaku tokoh-tokoh adat itu," kata Kuppin.

Bagaimana perambah menjadi berjumlah ribuan orang di TNTN? Kuppin mengakui adanya upaya penegakan hukum yang kurang efektif. "Lembaga Balai TNTN ini baru dibentuk 2006. Sehingga saat itu upaya penegakan hukum kurang, SDM kita juga kurang," terangnya.

Kawasan hutan 167,618 Ha ini, merupakan kawasan yang memiliki  keragaman  jenis  tumbuhan  vaskuler tertinggi di dunia dan merupakan kawasan penyangga kunci dari populasi gajah (elephas maximus). Lanskap hutan Tesso Nilo merupakan salah satu benteng pertahanan terakhir bagi gajah dan harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) yang jumlahnya mulai sedikit. Disamping itu juga ada berbagai jenis primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna  dan 644 jenis kumbang. Tercatat ada lebih dari 4000 jenis tumbuhan dan lebih dari 200 spesimen tumbuhan yang ditemukan dalam setiap plot 200 meter persegi. Dan kondisi geografisnya yang berada di dataran rendah, menjadi primadona bagi para pendatang untuk membuka lahan garapan.

Sejumlah tokoh masyarakat dan masyarakat di desa-desa yang berada di sekitar TNTN yang terhimpun dalam Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN), menyatakan rasa optimisnya terhadap kelestarian TNTN. Namun itu bisa terjadi bila peneggakkan hukum berjalan baik dan seluruh stake holder memiliki perhatian serta kepedulian yang sama terhadap kelangsungan masa depan TNTN.

"Untuk menjaga kawasan konservasi Tesso Nilo, kami selalu memberikan sosialisasi kepada masyarakat sekitar TNTN tentang pentingnya konservasi, termasuk juga kepada para perambah. Kami mambudidayakan tanaman asli Tesso Nilo agar tanaman tersebut tidak punah dan menjaga keseimbangan ekosistem di TNTN. Bahkan kami juga membantu BTNTN menjaga TNTN dari perambahan dengan melaksanakan patroli, meskipun acap kali terjadi konflik dengan para perambah," kata Ketua FMTN, Radaimon.

Pemerintah seharusnya mencari solusi bagaimana merelokasi para perambah ini. "Jangan hanya mengusir mereka keluar dari TNTN, tanpa diberikan alternatif bagi kelangsungan kehidupan mereka, terutama yang menyangkut persoalan ekonomi," tambah Tengku Effendi, sekretaris FMTN.

Pada Februari 2013 lalu, Menteri Kehutanan menyampaikan komitmennya untuk merelokasi perambah dan menyediakan dana untuk mengatasi isu perambahan. Hal tersebut disampaikan saat meresmikan pusat konservasi gajah di TNTN. Komitmen yang sama juga disampaikan Bupati Pelalawan. Pemkab pelalawan bahkan akan menyediakan dana tambahan untuk mendukung relokasi warga yang ada di TNTN. Namun program tersebut masih belum kelihatan tindak lanjutnya hingga kini.

Menurut Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo, Yuliantoni, perambah tidak hanya merusak hutan dan menghilangkan tanaman asli di Tesso Nilo, tetapi juga membunuh dan memusnahkan gajah yang merupakan fauna yang kini mulai langka. "Bila gajah punah dari TNTN, perambah merasa TNTN tidak akan menjadi isu yang seksi lagi. Dan aktivitas mereka disana akan lebih leluasa," kata Toni.

"Ancaman utama konservasi di TNTN adalah perambah. Namun kami tetap optimis TNTN bisa terjaga dengan baik bila pemerintah dan seluruh komponen masyarakat satu komitmen. Ditambah dengan penegakkan hukum yang baik, kami yakin, persoalan perambahan bisa teratasi ," tandas Toni.*  

(Tulisan ini pernah dimuat di salah satu media lokal di Pekanbaru 2014)




No comments:

Post a Comment